Dualisme dan Monisme, adalah Perang Perspektif
Sekedar memastikan bahwa “kebenaran pasti
akan tetap hidup”, kiranya itu yang alasan logis untuk mengulas beberapa
fenomena yang terjadi disekeliling kita. Kasus yang marak terjadi dapat saja menimbulakn
konflik-negatif, tentu jika tidak disikapi dengan bijak. Ukuran dalam menyikapi
kasus, mari kita coba dengan berbagai pendekatan yang mampu mengarah dan
berpijak pada realitas, sehingga nilai objektif bisa jadi simpulan untuk
mengambil sikap. Dengan seperti ini dapat memperkecil konflik-konflik besar
terjadi. Penulis masih ingat betul pesan dari K.H. Abah Sholahuddin, pasca
silaturrahim dikediamannya di pondok pesantren Al Hikmah 2 Desa Benda, beliau
berpesan “kecilkanlah masalah yang besar dan besarkanlah masalah yang
kecil”, maksud yakni dalam menjumpai masalah kecil itu jangan sampai
diremehkan, harus cepat diselesaikan. Dan jika menghadapi masalah besar, maka
kecilkanlah, bahwa kita mampu untuk menyelesaikannya bukan malah larut dalam
masalah tersebut.
Masih berkutat pada kasus yang kerap terjadi
akhir-akhir ini, yakni tentang soal pembuangan bayi di wilayah desa benda. Ada
beberapa hal yang perlu dijelaskan dahulu, yakni: pertama, pembuangan bayi
adalah satu perbuatan yang melanggar hukum bahkan norma-norma yang ada. Kedua,
kejadian tersebut dikawasan desa yang agamis dikarenakan tertadapat beberapa
pesantren terkemuka yaitu, pondok pesantren Al Hikmah 1, pondok pesantren Al
Hikmah 2 serta pondok pesantren yang ada di wilayah sekitar, sehingga tidak
heran jika desa Benda dijuluki desa/kota santri.
Kasus tersebut cukup menggegerkan terutama
di media sosial Facebook, akun Facebook milik warga benda cukup menjadi
perhatian, yakni, soal tulisan statusnya “Angger pelaku ne ngko ketemu
jebule wong benda ya aja gumun, emange wong benda suci apa. Memang wong benda
kuwe kota santri, akeh wong ngaji, akeh wong alim, akeh ustadz, akeh kyai, tapi
wong benda sing doyan mendem ya ana, sing doyan narkoba ya ana, sing doyan selingkuh
karo bojone uwong ya ana. dadi aja gumun nek misale ngko pelakune ketangkep
jebule wong benda. Syukur2 tah dudu wong benda pelakune, dadi aja komentar
gumun ya, dihh ning benda jare ana wong biadab nemen mbuang bayi anake dewek,
TKP ne bae pas nang benda, tunggu polisi bekerja ya, syukur2 tah dudu wong
benda, angger wong benda ya kuwe mau. Kiye nggo pengeling nyong dewek sebagai
wong benda kudu njagani adab sebagai benda sing dikenal kota santri,
#BiasakanPostingTanpaGambarKorban”, tandasnya dalam ststus Facebook yang
dituliskan.
Cukup keras kiranya maksud yang hendak
ingin disampaikan dari status tersebut, ini mengarah pada soal dualisme.
Yaitu, terkait dua hal yang kontadiktif akan tetapi ada secara bersamaan.
Dualisme bisa ditemui pada pebahasan ekonomi seperti yang dijelaskan dalam
bukunya Alm. Prof. Dawam Rahardjo seorang cendikiawan muslim juga seklaigus
ekonom Indonesia. Selain itu ada juga dualisme tentang alam pikiran
yaitu, berkutat wilayah yang membahas filsafat. Ini bisa ditemui dalam buku “Misykat,
Refleksi Tentang Islam, Westrnisasi & Liberliasasi” karya Dr. Hamid
Fahmy Zarkasy, Direktur INSISTS.
Di dalam bukunya Dr. Hamis Fahmy Zarkasy, mengemukakan
kasus soal pelacur yang di hadirkan pada acara talk-show pada stasiun TV
Inggris tahun 90 yang membahas isu pelacur. Ada pernyataan pelacur yang cukup
menarik kurang seperti ini “saya memang pelacur, dan saya melakukan ini
karena memang saya janda. Saya ingin menjalani profesi ini untuk menghidupi
tiga orang anak saya. Kalian boleh saja mencemooh, tapi siapa yang peduli jika
anak-anak sya kelaparan, siapa! Siapa!” ia berteriak lantang, ”Supaya
kalian semua tahu lanjutnya, saya memang pelacur tapi hati saya tetap suci”.
Hadirin pun bersorak. Kasus ini berkaitan dengan soal dualis, menjadi pelacur
dan mersa suci. Dua sifat yang kontradiktif, doktrin dualisme ini sudah
lama berakar di dalam pemikiran barat, asal usul terdektanya adalah filsafat
akal (philosophy of mind) yang digemari Descrates, Kant, Leibnis,
Christian Wolf dan lain-lain.
Bahkan konon Barat mewarisinya dari
kepercayaan Zoroaster (1000 SM) di Timur, dunia dianggap sebagai
pergulatan abadi antara kebikan dan kejahatan. Thomas Hyde menemukan
doktrin ini dalam sejarah agama Persia kuno (History religionis veterum
persiarum, 1700). Doktrin Zoroaster diwarisi oleh Manicheisme
dan diramu dengan duliasme Yunani. Tuhan akhirnya dianggap sebagai
person dan juga materi. Bagi orang Mesir kuno Ra adalah tuhan matahari simbol
kehidupan dan kebenaran, lawannya adalah Apophis lambang kegelapan dan
kejahatan. Deva dalam agama Hindu adalah tuhan baik, musuhnya adalah Asura
tuhan jahat. Dalam filsafat, Pythagoras adalah dualis, segala
sesuatu diciptakan saling berlawanan: satu dan banyak, terbatas tak terbatas,
berhenti-gerak, baik-buruk dan sebagainya.
Tapi apakah dualisme itu benar-benar
realitas? Atau sekedar persepsi yang menyimpang? Sebab nilai-nilai Monistis
(kesatuan) dalam realitas juga ada dan riel. Dalam kepercayaan kuno pun
unsur monisme juga wujud, Marduk ternyata turunan dari Tiamat,
Zeus dan Titan berasal dari moyang yang sama. Di zaman Renaissance
dualisme Plato kembali menjadi pilihan, tapi pada abad ke 17 Descrates
memodifikasinya. Baginya yang riil itu adalah akal sebagai substansi yang
berpikir (substance that think) dan materi sebagai substansi yang
menempati ruang (extended substance). Perang antara dualisme dan monisme,
sejatinya adalah pencarian konsep ke-esa-an (tauhid). Fichte dan Hegel
misalnya juga mencoba menyodorkan doktrin monisme, tapi bagaimana bentuk
kesatuan kehendak jiwa dan raga tidak jelas. Nampaknya, karena arogansi akal
yang tanpa wahyu maka monisme tersingkir dan dualisme berkibar.
Jiwa dan raga dianggap dua entitas, seorang dualis melihat fakta secara mendua.
Akal dan materi adalah dua substansi yang secara ontologis terpisah.
Jiwa-raga tidak saling terkait satu sama lain karena beda komposisi, akal bisa
jadi jahat dan materi bersifat suci.
Padahal dari jiwalah kehendak berbuat jahar
itu timbul, dalam islam kerja raga adalah suruhan jiwa (innama al a’mal bi
al-niyyat). Karena itu ketulusan dan kebersihan jiwa membawa kesehatan
raga. Nampaknya doktrin dualisme telah memenuhi pikiran manusia modern
termasuk pelacur tersebut. Kekacauan berpikir inilah kemudian yang melahirkan
istilah “pejabat yang santun, koruptor yang dermawan, ateis yang baik,
pelacur yang moralis, atau yang lebih keras lagi pernyataan kota santri yang
absurd”, serta pernyataan srampangan yang kerap muncul di alam pikiran dan
kondisi riil kita.
Dari maksud yang hendak penulis sampaikan yaitu,
mari perkuat lagi landasan dalam berpikir untuk menjalani keseharian kita,
sehingga tidak sampai pada kekacauan berpikir serta terlau mudah mengambil
kesimpulan. Soal kasus yang terjadi dibenda mari kita sikapi dengan akal sehat
serta tetap berpikir jernih. [Opini Mahasiswa Oleh: Baqi Maulana Rizqi - Kader HmI Bumiayu]